Secara sadar saya telah mencoba untuk keluar dan mulai belajar self healing menghilangkan anxiety, menambah banyak pekerjaan, membaca buku, menulis, mendengarkan lagu, main game atau menonton youtube. Akan tetapi kondisi kesehatan fisik yang tidak memungkinkan untuk banyak gerak membuat saya biasa-biasa saja dan kembali lagi pada pikiran ketakutan, panik, dan cemas akan masa depan. Bermula dari rasa kehilangan yang berulang, membuat saya tidak bisa berpikir jernih untuk menatap masa depan lebih baik, atau setidaknya berpikir semua orang berhak bahagia kok, kita saja belum. Teman dan keluarga pun menyadarkan saya untuk lebih mendekat ke agama atau lebih religius dalam beribadah, tapi ketenangan jiwa sendiri tidak saya temui disitu. Ada satu kata-kata seorang Monk yang tidak sengaja saya baca di facebook, bahwa kesedihan itu bersifat sementara, kebahagiaan pun juga bersifat sementara, jadi bagaimana dengan diri kita menyikapinya.
Selamat datang tahun 2021 Kalau boleh sedikit flashback di tahun 2020 kita hanya bisa di rumah saja dan merefleksikan diri, rasanya di tahun 2020 kita belum melakukan apa apa. Tapi kalau boleh kilas balik kita sudah mampu mengenal diri kita dalam keterbatasan bergerak dan beraktivitas. koneksi dengan lingungan pun terbatas dalam daring. Stress itu pasti, mimpi buruk dan kecemasan yang berlanjut, pesimisme menghadapi hidup. Bagaimana jika pandemi ini tidak berakhir, akankah kita terus menerus terkurung di dalam rumah untuk tidak berbuat apa-apa. Kegelisahan akan esok sudah semakin nyata di depan mata, susah tidur, pikiran kemana-mana, sepi menjadi teman sahabat dan kebiasaan sehari-hari. Kecemasan mulai menggerogoti raga kita. Kita semua dalam bahaya dan ketakutan yang sama. Cara penyembuhan yang baru saja kudapat untuk mengatasi kecemasan ialah menulis, meski menulis tidak semudah dulu lagi, kurang referensi pengalaman dan perjalanan, tapi setidaknya menulis sebagai obat...