Setiap sore di rumah mbah tak pernah luput ada jajanan pasar yang terhidangkan di meja. Menunya pun berganti setiap hari, kadang jenang sum-sum, gorengan, gethuk, apem, bolu kukus dan khas jajanan pasar lainnya. Saya sendiri kurang tau, sejak kapan kue yang dijual di pinggiran disebut jajanan pasar, meskipun terkadang bentuknya sama dengan kue yang dijual di bakery.
Sore ini ada dua macam jajanan di rumah mbah, Ada satu bungkus bolu kukus yang berisikan lima buah dan sebungkus gethuk singkong yang ditaburi parutan kelapa. Entah sadar atau tidak saya memilih bolu kukus untuk dinikmati dengan teh hangat, dan simbah pun memilih bolu kukus juga beberapa anggota lainnya. Gethuk disini tidak terjamah sama sekali, alias tidak termakan.
Sayangnya setelah bolu kukus kukus dan segelas teh hangat Dilmah earl grey saya lahap habis, saya baru teringat mengenai kelas ketahanan pangan yang kurang lebih saya ikuti enam bulan yang lalu (saya minta ditabok emang!). Mengubah kebiasaan memanglah sulit, apalagi sudah bertahan betahun-tahun, saya pun merasa kelas yang saya ikuti sama saja gagal. Saya lebih memilih sepotong bolu kukus yang terbuat dari gandum berasalkan dari resep kebarat-baratan. Bolu memang terlihat menarik daripada gethuk yang hanya kukusan singkong dipadukan dengan parutan kelapa, dan jangan tanyakan mengapa pilihan teh pada dilmah bukan teh lokal. Argghh sungguh paradoks, ini tidak konsisten dengan apa yang saya baca dan pelajari. Kalau merasa berdosa itu mungkin, tapi sejam dua jam saja, habis itu menguap saya lupa. Saya memaklumi pilhan-pilihan makan saya ini sebagai sebuah kebiasaan. Tentunya bukan saya saja yang melihat bolu kukus coklat lebih menarik daripada gethuk.
Tren menganggap pangan lokal ini lebih rendah nilainya daripada jajajan modern dan kebaratan ini sudah tertananam di benak masing-masing orang. Saya menyebut jajanan modern karena belum nemu padanan kata lainnya yang pas :P. Makanan baru yang terlihat aneh dan bersifat kebarat-baratan (ini makanan lain ya bukan bolu kukus :P) otomatis terlabeli dengan nilai gizi yang lebih banyak, sedangkan singkong da eta mah apa atuhh ...
Tulisan saya ini tergolong dangkal dan belum masuk ke bab ketahan pangan sendiri, tapi paling tidak dari fenomena di meja makan rumah kami terlihat jika kami lebih memilih yang "bagus" dan "unik" daripada yang sudah ada sejak lama. Boleh dikata nanti pangan asli kita akan tergusur pelan-pelan. Selamat malam :)
Sore ini ada dua macam jajanan di rumah mbah, Ada satu bungkus bolu kukus yang berisikan lima buah dan sebungkus gethuk singkong yang ditaburi parutan kelapa. Entah sadar atau tidak saya memilih bolu kukus untuk dinikmati dengan teh hangat, dan simbah pun memilih bolu kukus juga beberapa anggota lainnya. Gethuk disini tidak terjamah sama sekali, alias tidak termakan.
Sayangnya setelah bolu kukus kukus dan segelas teh hangat Dilmah earl grey saya lahap habis, saya baru teringat mengenai kelas ketahanan pangan yang kurang lebih saya ikuti enam bulan yang lalu (saya minta ditabok emang!). Mengubah kebiasaan memanglah sulit, apalagi sudah bertahan betahun-tahun, saya pun merasa kelas yang saya ikuti sama saja gagal. Saya lebih memilih sepotong bolu kukus yang terbuat dari gandum berasalkan dari resep kebarat-baratan. Bolu memang terlihat menarik daripada gethuk yang hanya kukusan singkong dipadukan dengan parutan kelapa, dan jangan tanyakan mengapa pilihan teh pada dilmah bukan teh lokal. Argghh sungguh paradoks, ini tidak konsisten dengan apa yang saya baca dan pelajari. Kalau merasa berdosa itu mungkin, tapi sejam dua jam saja, habis itu menguap saya lupa. Saya memaklumi pilhan-pilihan makan saya ini sebagai sebuah kebiasaan. Tentunya bukan saya saja yang melihat bolu kukus coklat lebih menarik daripada gethuk.
Tren menganggap pangan lokal ini lebih rendah nilainya daripada jajajan modern dan kebaratan ini sudah tertananam di benak masing-masing orang. Saya menyebut jajanan modern karena belum nemu padanan kata lainnya yang pas :P. Makanan baru yang terlihat aneh dan bersifat kebarat-baratan (ini makanan lain ya bukan bolu kukus :P) otomatis terlabeli dengan nilai gizi yang lebih banyak, sedangkan singkong da eta mah apa atuhh ...
Tulisan saya ini tergolong dangkal dan belum masuk ke bab ketahan pangan sendiri, tapi paling tidak dari fenomena di meja makan rumah kami terlihat jika kami lebih memilih yang "bagus" dan "unik" daripada yang sudah ada sejak lama. Boleh dikata nanti pangan asli kita akan tergusur pelan-pelan. Selamat malam :)
Komentar
Posting Komentar