Sore ini saya menemani nenek untuk membersihkan kebun dekat rumah, lokasi kebun atau yang biasa kami sebut pekarangan ini tidaklah cukup jauh dari rumah. Di sisi timur kebun terdapat rumah salah satu sanak famili kami, dan disisi utara terdapat beberapa rumah tetangga. Untuk sisis barat kebun ini berbatasan lain dengan sungai, dan sisi selatan ialah pekarangan kerabat kami juga. Asal-usul kebun nenek saya ini memang tanah warisan, jadi tidak heran jika berbatasan dengan tanah milik sanak famili. Jalan menuju kebun kami memang melewati pelataran rumah tetangga, seperti jalanan khas perkampungan. Untuk ukuran kebun kami termasuk sedang, yaitu tidak terlalu luas juga tidak terlalu sempit.
Saya baru kali ini mengikuti nenek membersihkan kebun, setelah sekian tahun meninggalkan rumah untuk bersekolah dan bekerja di luar kota. Agak heran juga saat nenek saya setiap sore menyapu kebun, saya kira nenek menyapu dedaunan yang gugur, dan sayapun berkata pada nenek, "Kui jenenge nguyahi segoro, ngresiki godhong kok nang alas". Artinya " Itu namanya menggarami lautan (melakukan hal sia-sia), membersihkan dedaunan kok di hutan".
Saya kaget ketika menemuka plastik kresek berserakan, tidak sedikit pula seperti kemasan mie instant baru maupun shampo yang tidak kami konsumsi. Ohiya perlu diketahui, kebun kami juga sebagai tempat pembakaran sampah dari rumah. Nenek saya pun berkata " Iki kui sing guwang sampah kresek, bendino diresiki tetep diregeti", atau " Ini dia yang buang sampah kresek, setiap hari dibersihkan tetap saja dikotori". Oh rupanya yang dimaksud nenek saya ialah salah satu anak menantu dari kerabat kami, yang tinggal di sisi timur kebun, caranya membuang pun cukup berserakan. Ini menjadi kerjaan nenek saya yang usianya kira-kira 77 tahun untuk membersihkan sampah plastik yang memenuhi kebun kami.
Sampah plastik yang tidak terlihat atau "nyolok moto" karena lokasinya tidak di depan rumah kami. atau bukan kebun produksi namun nenek saya ketika melihat sampah kresek begitu gemas, dan rasa memilikinya yang masih tinggi sehingga seolah-olah lahan ini juga merupakan halaman utama rumah yang akan dilihat juga oleh tetangga sekitar. Sya juga baru sadar ketika didepan rumah yang dulu ada jogangan atau tempat pembakaran sampah kini sudah tidak ada dan dipindahkan di kebun yang agak berjauhan dengan rumah.
Dari kasus ini sebenarnya cukup sepele, bagaimana nenek saya mungkin menganggap sampah itu kotor, dan penting untuk dibersihkan, sedangkan tetangga kami menganggap sampah hal sepele dan dibuang begitu saja. Mungkin mereka akan berpikir sampah dibawa kabur oleh angin dan tidak kembali dan tidak menjadi masalah. Sampah sendiri memang hal yang sudah tidak dipakai, tidak digunakan dan mungkin tidak reusable bagi kalangan yang tidak benar paham atau mereka belum berpikir bahwa sampah ialah sumber masalah. Nah bagaimana dengan caramu memperlakukan sampahmu ?
Komentar
Posting Komentar