Semoga saja postingan ini adalah postingan saya yang
pertama dan terkahkhir yang agak sentimental alias menye-menye (semoga)
Rasanya ingin berlari, pergi, menjauh dari kamu,
aku pun tahu kamu orang baik, kamu pasti membebaskan pula keingian setiap
orang, seperti yang selalu kamu ceritakan, kalau manusia di dunia itu tidak
boleh tertindas. Kamu ingat, aku pernah cerita ada sebuah kalimat yang cukup
sederhana namun menarik . " Bukankah setiap orang berhak atas
kebahagiaannya masing-masing". Kata itupun berulang kali aku ucapkan
(waktu itu) dan kamu tentu mendengar dan ingat, aku yakin itu.
Selama ini kita baik-baik saja, setelah perpisahan
itu, dan kamu yang lebih bahagia dengan keputusanmu. Mungkin saja kamu melihat
pertemanan kita baik - baik saja, seperti sahabat lama yang tidak pernah ada
suatu masalah, mungkin itu yang kamu pikirkan. Di sisi lain aku belajar sabar, mencoba
berbicara dengan diri sendiri, di anggap bodoh teman-teman sekitar, merasa
menipu diri sendiri agar terlihat baik-baik saja, dan tentu bisa menerima
kamu sebagai teman setidaknya selama hampir setahun belakangan ini.
Setelah kita berpisah pun aku melihat kamu (lebih)
bahagia, dibandingkan waktu denganku dulu, kamu seperti kembali hidup, kembali
dengan jalanmu yang lama, kembali dengan kehidupan yang kamu inginkan. Aku pun
tidak menganggumu. Dari jauh pun aku mengamati dan berkata dalam hati "itulah
yang kamu inginkan, aku ikhlas dan akan pergi". Karena waktu dan karena
kebiasaan yang lama dan melekat, aku masih berharap dan sakit hati (tentu
saja). Aku biarkan kamu bahagia dengan apa yang kamu pilih.
Waktu dapat menghapus pahit, harapan, cinta, dan
rasa, semuanya bisa tergerus oleh waktu, luntur oleh guyuran hujan, dan kabur
mengikuti tiupan angin. Dan akupun menyadari kalau cinta pun ada masa
berlakunya juga, namun berbeda dengan kesedihanku yang enggan hilang ini. Entah
kesedihan untuk apa, tangisan untuk apa, perasaan tidak tenang untuk apa,
terganjal untuk apa. Aku mulai menanyakan hal itu, malam hari sebelum tidur
hingga bangun aku masih berpikir bagaimana kalau aku lari (dari kamu) saja.
Akupun mencoba lari (berulang kali), menangis
sendiri dan kembali memafaakan, mungkin kita ditakdirkan untuk menjadi sahabat,
saling berbagi dan mengisi tanpa ada cinta. Bahkan akupun juga percaya bahwa
Tuhan memiliki rencana dalam hal sekecil apapun. Akupun tak bisa menolak kuasa
Tuhan yang mempertemukan kita hingga akhirnya kita terpisah. Bukan masalah
perpisahan yang mendadak atau aku belum siap, perpisahan yang sudah lama itu
dan aku mencoba lari tapi belum bisa (kamu halangi), sekali lagi aku kesal
dengan hidupku, aku salah mengelola persaanku sendiri. Semesta yang
mennetukan perjumpaan kita, aku juga tidak bermaksud mengakhirinya, tetapi
bukankah semua sudah berakhir sejak lama, kamu yang memilih untuk berpisah dan
memilih hidup lebih bahagia seperti yang kamu inginkan. Aku saja yang terlalu
bodoh menunggu hampir setahun dengan menipu perasaan.
Setidaknya kamu pernah berkata, kita tetap bisa
menjadi teman, tapi di sisi lain kamu tidak tahu bagaimana caraku mengalahkan
perasaan, dari cinta menjadi ikhlas, dari cemburu menjadi biasa saja, dari
peduli menjadi tidak peduli, dari meminta perhatian hingga aku tahu itu sudah
tidak ada. Diam terlihat bodoh dan tidak tahu, seperti bukan manusia, bukan
pula sebuah benda yang memiliki persaan (mungkin kamu berpikir demikian).
Aku melepasmu dengan pilihanmu, yang tentunya kamu
lebih bahagia ketika memilih itu. Sekali lagi ingatlah kata-kata sederhana itu bahwa
"setiap orang berhak atas kebahagiaan masing-masing", aku menghargai
itu. Kamu pun bukan orag bodoh atau anak kecil yang tidak memiliki pertimbangan
akan segala keputusanmu. Sebaliknya kamu pasti juga tahu setiap orang bisa
memiliki keputusan, dalam waktu singkat atau panjang.
Saat aku memutuskan untuk lari, mungkin ini waktunya,
memilih kebahagiaanku (setidaknya demikian), waktu bisa berganti demikian
pula setiap orang juga berhak untuk berlari menuju jalan lain. Jangan
memperlambat, kamu pun boleh berlari sejauh dan sesukamu.
Komentar
Posting Komentar